Sampahmu Hartaku

Sampahmu hartaku....

     Slogan kecil di atas saya baca ketika sedang melintas melewati kota Surakarta, dalam sebuah Sampahmu hartaku. ditulis dalam bentuk coretan kecil tak rapi tepat di sebuah tembok bangunan, persis di depan bak penampungan sampah di Jalan Ir. Juanda, Surakarta. Itu hanyalah sepenggal kalimat kecil, sangat sederhana memang, namun siratkan berjuta arti bagi saya sendiri.
Pemulung cilik
perjalanan dari Malang menuju Jogjakarta. 
          
          Sepanjang sisa perjalanan sebelum tiba di Jogja, saya coba merefleksikan arti kata tersebut, mencari makna di balik coretan merah yang tak biasa itu. Sampahmu hartaku. Kata-kata itu terus menari-nari dalam pikiran saya, mengusik nurani ini untuk segera melihat lebih jauh akan pesan kecil di balik coretan tak bertuan itu, entah ulah siapa, saya pun tak tahu. 
  
            Mungkin itu salah satu bentuk cara mereka menyatakan terima kasih, karena mereka dapat hidup dari sampah-sampah itu. Ya sampah. Barang-barang sisa, bekas, dan tak berguna lagi, yang kemudian oleh kita dibuang karena dianggap tidak lagi berguna. Tapi bagi mereka para pemulung, sampah adalah harta penyambung hidup mereka. Semakin banyak sampah, maka dapat menjadi ladang pencarian nafkah bagi mereka. Tapi itu hanya berlaku bagi sampah-sampah an-organik seperti plastik, botol bekas, dll. Lalu bagaimana dengan sampah organik? Mereka bahkan tidak yakin akan melakukan apa dengan sampah-sampah tersebut. Menjadi pupuk? Kebun saja pasti tidak mereka punya. Itulah mengapa banyak pemulung sampah lebih memilih memungut sampah an-organik ketimbang sampah organik.

         Begitu kira-kira kesimpulan awal saya. Tapi nampaknya itu belum cukup.

          Bisa juga, pesan Sampahmu hartaku adalah sebuah bentuk protes para pemulung terhadap rezim di negeri ini yang tak juga menyediakan mereka lapangan pekerjaan yang layak bagi mereka. Mereka menggugat negara dan tanggung jawab negara sebagaimana telah dimuat dalam UUD 1945-negara melindungi fakir miskin dan anak-anak terlantar. Sayangnya, semua itu hanyalah formalitas belaka. Hitam di atas putih, agar sebuah legitimasi kekuatan-kekuasaan tetap berjalan.

       Hidup mereka seperti terpinggirkan, harus menggantungkan hidup pada sampah. Sesuatu yang sangat memalukan bagi mereka. Mereka seperti tidak lagi memiliki harta yang lebih berharga selain sampah itu sendiri. Kehidupan mereka seolah tak bermartabat, padahal mereka hidup pada negara yang katanya sangat kaya ini. Namun realitanya, mereka masih harus bergumul dengan sampah-sampah yang kotor dan bau untuk sekedar melanjutkan hidup mereka yang pelik. Memang benar, sampah telah menjadi harta bagi mereka. Harta dan teman dalam merajut kerasnya hidup yang kadang terdengar tak adil ini.

          Ya, hanya itu jawaban yang bisa saya dapat. Tak banyak memang. Namun demikian, paling tidak dari coretan kecil Sampahmu hartaku saya telah banyak belajar banyak hal. Bahwa inilah sebenarnya realita yang kita hadapi kini. Tapi apapun itu, pesan kecil lain dari tulisan itu adalah tentang arti sebuah perjuangan. Hidup adalah perjuangan, maka perjuangkanlah itu, apapun rintangan yang dihadapi.
          
                                                               * * *
Jogja, 12 Oktober 2011
Malang-Jogja, sebuah perjalanan kecil yang bermakna...

Terima kasih para pemulung, telah mengajarkan saya tentang bagaimana caranya memperjuangkan hidup ini. 

sumber gambar : http://mitradualipat.files.wordpress.com/2010/11/pemulung-cilik31.jpg
             

0 Response to "Sampahmu Hartaku"

Posting Komentar