Dari tanah semusim, tempat di mana langit selalu menyembunyikan dingin rintik gerimis, biarkan kutulis beberapa larik kisah yang tak lagi menarik di matamu. Anggap saja sebuah kebetulan kita pernah bersua. Itu jauh lebih adil ketimbang mengenang hari-hari ketika itu – dan kita memilih diam, menjaga keheningan ketika sepi mati dalam ketiadaan kata-kata.
To love you die |
Masa lalu tetaplah masa lalu. Hari-hari yang sepadan dengan ratusan mil setengah perjalanan dari detik di mana harapan memekar membentuk hari esok. Tak ada alasan untuk memendam keheningan dan sebagian kisah lawas yang pasti luntur digeser waktu. Tak ada alasan pula untuk merenung sesal, mengingat sebentuk kesia-siaan yang tampak samar di kedua bola mata. Tentang hari lalu, biarkan itu lekas berlalu. Hidup selalu berputar lebih cepat dari yang bisa kita duga. Tak perlu membuat dirimu mesti menunggu masa lalu kembali. Tak ada bagian yang tersisa untuk sebagian kenangan dari masa itu.
Hiduplah untuk hari depan yang memberi harapan. Tak perlu sisihkan sebagian memoar tentang hari-hari dimana kenangan adalah teman untuk menyusun cerita sendu. Itu hanya akan membuatmu hidup dalam bagian kenangan masa lalu. Lupakan saja cerita tentang gerimis kecil di Malioboro petang itu, memoar panjang hari-hari ketika di sini, dan semua yang menghalangimu membangun harapan tentang hari esok. Singkirkanlah sebagian kenangan di pelataran suci Sam Po Kong kala itu, atau cerita sepanjang Kota Tua yang masih segar dalam ingatan. Lupakan semua itu. Tak ada tempat bagi masa lalu di hari depan.
* * * * * * * *
0 Response to "Cinta Semusim"
Posting Komentar